VIRALKALTIM,KUTIM- Anggota DPRD Kutai Timur (Kutim) Baharudin mengajak kaum buruh untuk sadar politik agar tidak hanya menjadi komoditas politik oleh caleg dari sejumlah partai politik menjelang Pileg dan Pilpres Tahun 2019.
“Buruh sebenarnya harus sadar politik, harus ada pendidikan politik biar memahami dan bisa bersatu,” ujarnya, Kamis, 14 Maret 2019 lalu.
Sebab, lanjut dia, isu perburuhan selama ini hanya selalu dimanfaatkan untuk mendulang suara terutama menjelang pileg maupun pilpres. Namun, hak-hak buruh selama ini selalu tidak bisa dipenuhi.
“Untuk itu perjuangan dan misi kaum buruh juga dapat terwujud melalui parlemen. Karena itu buruh harus bersatu, harus ada ikatan atau komitmen yang jelas dengan caleg yang akan didukung,” tuturnya.
Politisi PKPI yang memastikan diri tidak ikut dalam kontestasi pileg 2019 ini mengakui jika dirinya juga mantan karyawan perusahaan yang paham terkait masalah perburuan. Dia mengatakan, kelemahan buruh terjadi karena masih kurangnya kesadaran politik, persatuan mapun keperdulian.
[penci_related_posts taxonomies=”undefined” title=”Baca Juga :” background=”” border=”” thumbright=”no” number=”4″ style=”list” align=”none” displayby=”cat” orderby=”random”]
Sebelumnya, Imran RS selaku aktivis buruh dari SPKEP SPSI Kutim mengungkapkan sejumlah hal terkait masalah perburuaan di Kutim. Salah satunya mengenai mengapa buruh harus belajar dan berpoltik.
Mengutip ungkapan Bertolt Brecht – Penyair Jerman dia mengatakan, buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
“Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri. Politisi buruk rusaknya perusahaan nasional dan multinasional,” tuturnya.
Kutipan syair Bertolt Brecht yang diungkapannya tersebut rasanya tepat untuk menggambarkan kondisi mayoritas masyarakat Indonesia yang buta politik. Kursi-kursi kekuasaan dirasa hanyalah milik para konglomkerat dan tidak mungkin dijangkau oleh masyarakat kecil. Kebanyakan masyarakat hanya diikutsertakan untuk meramaikan “pesta” demokrasi, namun setelah itu mereka kembali ke aktifitasnya sehari-hari disibukkan untuk mencari sesuap nasi tanpa ada komunikasi berkelanjutan dengan politisi yang mereka elu-elukan sebelumnya.
Begitu juga halnya dengan kaum buruh atau serikat buruh. Istilah politik masih sangat tabu bagi mereka khusunya di Kabupaten Kutim ini, padahal semua kebijakan yang ada dan dikeluarkan oleh pemerintah daerah sesungguhnya adalah produk politik. Dalam bidang ketenagakerjaan misalnya upah, sistem kerja dan hak-hak buruh lain juga produk politik.
Oleh karena itu, agar produk kebijakan yang ada berpihak kepada kaum buruh/rakyat kecil, kita semua tak boleh apatis terhadap politik. Tak boleh urusan politik hanya dipasrahkan kepada orang-orang yang tidak kita kenal tanpa mandat yang jelas. (Jok/Adv)