Oleh : Yakub Fadillah, S.IP
Wakil Ketua Bidang Pendidikan dan Kaderisasi PW Pemuda Muhammadiyah
Kalimantan Timur
DALAM SEJARAH penciptaan manusia di mana sosok manusia pertama yang digambarkan dalam QS 2 : 30-38 dikisahkan bagaimana sosok seorang nabi dan rasul yaitu Adam AS. Sebelum menjalankan tugas kepemimpinan di muka bumi, Adam menjalani masa orientasi sebagai pengenalan akan gambaran beratnya amanah yang akan diemban.
Kehadirannya membuat para penghuni surga menjadi terperangah, ada yang taat dan ada juga memilih untuk membangkang, pada mulanya tidak ada perbedaan antara Malaikat dan Iblis, semua penghuni surga dan bergelar Malaikat, namun satu mahluk yang bernama Azazil tampil sebagai pemeran antagonis yang kritis dengan segala egonya yang merasa lebih mulia karena tercipta dari api yang tidak mungkin menyembah tanah. Dimana bila digambarkan dalam tata surya api ini adalah pusat tata surya yaitu matahari yang mengeluarkan cahaya lalu menyinari planet salah satunya adalah bumi.
Logika api sebagai pusat peradaban tata surya yang tak mungkin hormat kepada bumi yang secara garis orbit justru berputar dengan konsisten pada manzilah (garis orbit) mengelilingi matahari selama ribuan bahkan mungkin jutaan tahun, dimainkan oleh Azazil yang lupa bahwa Allah-lah selaku Rab pemilik segalanya yang memerintahkan penghormatan, yang kemudian Azazil bergelar Iblis yang artinya pembangkang.
Selama masa orientasi ini tentu Adam menjadi proyeksi yang paling ideal, namun Allah mengatur penciptaan itu dengan proses, dimana Hawa selaku pasangan Adam tidak langsung diciptakan, tapi memiliki selang waktu yang sulit kita ukur dengan logika manusia, karena semua kisah yang kita terima selalu dikemas dengan singkat cerita.
Dalam satu kisah ketika Allah memutuskan Adam dan Hawa dimutasi dari Surga ke Bumi, Adam dan Hawa memerlukan waktus sekira 40 tahun pencarian, dan Nabi Adam pun diriwayatkan memiliki usia hingga 900 tahun dalam memulai peradaban di bumi dan memiliki puluhan pasang anak kembar, namun yang popular hanya 2 pasang yaitu antara Qabil, Habil, Iqlima dan Labudza. Dari perkawinan silang inilah manusia terus tumbuh dan berkembang hingga membentuk koloni di setiap benua dengan ras dan Bahasa yang berbeda.
Pada masa awal peradaban manusia, insiden pertumpahan darah terjadi atas nama cinta yang penuh dengan hawa nafsu dan dengki yang menjadi pemicu kebencian. Habil harus menjadi manusia pertama yang mati di tangan kakaknya sendiri yaitu Qabil, maka sejarah telah ditorehkan dengan penuh kepedihan. Dan kini keserakahan,kegagahan, dan kebanggaan hampir semua dibangun atas nama cinta tanpa memikirkan cinta dan kasih yang harus dirasakan orang lain.
Dalam sejarah kekuatan besar yang saling bertikai bahkan tragedi-tragedi besar dunia yang melibatkan antar imperium pun selalu melibatkan harta dan wanita yang menjadi pemicu yang dikemas atas nama kejayaan dan kehormatan. Dengan latar belakang ingin saling menguasai inilah terjadi penyimpangan-penyimpangan hingga di banyak generasi harus turun Rasul-rasul sebagai sang reformis yang memiliki semangat purifikasi theologis dan pembaharuan akhlaq, agar kepercayaan atau iman mereka terhadap Allah senantiasa terus mengalami penyegaran dan pembaharuan sesuai dengan tuntunan wahyu.
Bila kita mengacu pada QS. Albaqoroh ayat 183 yang berbunyi ; Yaa ayyuhalladziina aamanuu kutibaalaikumushiyam kamaa kutiba alalladziina minqoblikum la’alakum tataquun. (QS 2:183) Artinya :“wahai orang-orang yang beriman telah datang kepadamu kewajiban untuk berpuasa sebagaimana pula diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.
Terdapat sebuah pesan pada redaksi bercetak tebal dan miring bahwa terdapat studi komparasi yang menggambarkan ritual puasa merupakan ritual para nabi dan rasul terdahulu. Dalam riwayat kita mengenal puasa 3 rasul, yaitu Musa AS, Dawud AS, dan Isa AS sebagai perbandingan, dengan syariat waktu yang berbeda namun menggambarkan bahwa puasa adalah ritual yang harus dijalani untuk menjadi penyeimbang antara akal dan nafsu yang harus berjalan seiring untuk kemajuan peradaban manusia.
Pada rasul yang lain, seperti Nabi Ibrahim AS pernah dihukum oleh Namrud sang desainer dan pembangun kota Babel (Babilonia) yang menemukan banyak ilmu dan juga kisah inses yang menikahi ibunya sendiri (Semiramis) yang mencerminkan bahwa majunya sebuah peradaban kota yang super canggih dan indah di masanya tidak selalu dibarengi dengan akhlaq yang berkeadaban. Hukuman yang diterima oleh Nabi Ibrahim adalah dibakar hidup-hidup karena dianggap merusak tatanan kepercayaan yang dibangun oleh Namrud di kota Azar yang berupaya menjauhkan rakyat Babilonia dari mengenal Tuhan dengan fitrah manusia yang diajarkan buyutnya Nabi Nuh AS.
Semangat purifikasi, revolusi akhlaq nabi Ibrahim AS memiliki konsekuensi hukum di hadapan sang Kaisar yang mengaku Tuhan karena kepandaian dan capaian pembangunan yang prestisius di masanya. Selama dalam pembakaran yang sangat lama untuk bisa padam, tentu Nabi Ibrahim AS menjalani puasa dalam di dalam pembakaran yang sangat lama, yang dengan kasih sayang Allah, Nabi Ibrahim pun tidak merasakan panas atas besar dan lamanya api membakar kayu bakar yang menggunung dangan kayu bakar pilihan.
Kisah lain adalah Nabi Yunus yang harus diselamatkan oleh ikan Nun karena diusir dari negerinya yang mengharuskan Nabi Yunus masuk ke dalam kapal dengan menyelinap yang pada akhirnya dalam insiden badai laut, sang mu’alim kapal memutuskan harus ada yang dijadikan korban untuk menyelamatkan kapal dan penumpang lainnya, maka dalam undian Nabi Yunus pun terpilih untuk dikorbankan dibuang ke laut, dengan kasih sayang Allah Nabi Yunus AS pun ditelan ikan besar (nun), yang sudah pasti selama di dalam perut ikan Nabi Yunus menjalani puasa yang cukup lama hingga diselamatkan oleh nelayan.
Dengan belajar pada peristiwa-peristiwa yang digoreskan sejarahnya dalam Alqur’an tersebut, maka kita meyakini baik secara ajaran agama maupun kajian ilmiah, puasa adalah salah satu cara yang sangat ampuh untuk membangun pribadi-pribadi yang bertaqwa yang memiliki nilai keadaban yang tinggi. Sebagaimana tujuan dari puasa yaitu agar kita bertaqwa kepada Allah SWT. Tentu taqwa yang sebenar-benarnya taqwa yang tidak hanya nilai-nilai hablu minnallah (vertical) tapi juga hablu minannas (horizontal). Karena setiap ibadah yang dicanangkan untuk membangun nilai-nilai ketaqwaan selalu diikuti dengan perintah-perintah sosial.
Salah satu peristiwa di bulan Ramadhan yang menjadi waktu ditetapkannya syariat puasa adalah “lailatul qadar”. Setiap orang yang merindukan Ramadhan sebagai momentum perbaikan kualitas keimanan dan ketaqwaan sangat menginginkan mendapatkannya. Obsesi ini tentu tidak lepas dari teladan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dan juga wahyu yang menjadi rujukan utama.
Bila dalam QS 2 : 185 dijelaskan bulan Ramadhan sebagai waktu perintah puasa sekaligus waktu diturunkannya Alqur’an untuk pertama kali, maka di surah Al Qadr adalah landasan theologis yang paling mendasar dari banyaknya pemburu lailatul qadar, salah satu amalan yang popular adalah i’tikaf di sepertiga akhir Ramadhan.
Berikut adalah redaksi dari surah Al Qadr “ Inna anzalnahu fii lailatil qadr, wamaa adraaka maa lailatul qadr, lailatul qadri khairum min alfi syahr, tanzzalul malaaikatu warruhu fiiha bidzni rabbihim minkulla amr, salaamun hiyya hatta mathlai’il fajr”Artinya “ Sesungguhnya kami telah menurunkan (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah yang dimaksud malam kemuliaan itu ?.Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turunanlah para malaikat dan roh (Jibril) dengan izin Allah untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah malam itu sampai terbit fajar.
Peristiwa yang dimaksud dari ayat ini adalah peristiwa nuzulul Quran yang merupakan peristiwa untuk pertama kalinya turun. Peristiwa penting itu juga menandakan sebagai pelantikan Rasulullah SAW. Pada ayat keempat digambarkan sebuah peristiwa penting dengan turunnya para Malaikat yang mengiringi Jibril AS dalam mengemban titah untuk bertemu dengan Rasulullah saw. Suasana istimewa ini bila dalam kehidupan tatanan dunia saat ini bisa diambil sebuah contoh pelantikan seorang raja atau Presiden, persiapan begitu matang, spesial, hari bersejarah dan akan diikuti oleh parade militer.
Demikianlah gambaran para Malaikat itu ketika mengantarkan wahyu yang pertama, sehingga belasan tahun kemudian di bulan yang sama Allah perintahkan puasa di bulan yang sama dalam membangun ketaqwaan sebagai wujud pembuktian keimanan. Sehingga di dalamnya terdapat ujian dalam menyikapi perintah disamping tujuan utama dan manfaat dari puasa Ramadan itu sendiri.
Jika maksud dari peristiwa Lailatul Qadar adalah peristiwa Nuzulul Quran apakah mungkin Lailatul Qadar sampai kepada kita sebagai generasi muta’akhirin ? tentu itu adalah rahasia Allah swt, jika banyaknya peristiwa penting yang menjadi keberkahan umat di bulan Ramadan yang terus terjadi, maka sangat mungkin Lailatul Qadar itu masih ada. Yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan momentum Ramadan ini sebagai cara membuktikan ketaqwaan kita kepada Allah dalam rangka merawat dan membangun iman serta momentum penghormatan atas turunnya Alquran dan pelantikan Rasulullah SAW.
Lailatul Qadar bila diilustrasikan dalam gambaran dunia bisa kita ambil contoh posisi yang paling prestisius dan puncak dalam sebuah negara, yaitu Presiden. Semua warga negara bermimpi untuk bertemu dengan Presiden, namun hanya orang-orang yang berada dalam stratifikasi sosial tertentulah yang mudah menemuinya, rakyat kecil mungkin bertemu dengan Presiden namun peluangnya tidak sebesar orang-orang tertentu seperti politisi papan atas, pejabat tinggi negara dan para pakar (ilmuwan ternama).
Seperti itulah kira-kira gambaran Lailatul Qadar, kadar keimanan dan ketaqwaan kita akan mempengaruhi bertemu atau tidaknya kita dengan Lailatul Qadar, namun bukan berarti yang kadar keimanannya tipis tidak punya peluang.Jika Lailatul Qadr adalah gambaran dari suksesnya setiap hamba yang melewati Ramadhan, maka sudah barang tentu taqwa adalah interpretasi yang dapat meningkatkan karakter setiap mu’min, sudah pasti lailatul qadr akan mengantarkan pemburunya menuju insan-insan yang berkeadaban. Nilai-nilai insanulkamil akan tergambar dalam perilaku setelah melewati Ramadhan dengan sukses. Wallahu a’lam. (*)