VIRALKALTIM– Rapat dengar pendapat atau hearing membahas bandara khusus PT Indexim Coalindo yang wacananya dibangun di wilayah Maloy, Kecamatan Sangkulirang, Kutai Timur (Kutim), Kaltim, menuai kritik dan perdebatan.
Pantauan di ruang Hearing DPRD Kutim, Bukit Pelangi, Kamis (4/5/2023) siang, rapat ditengahi Ketua Komisi C DPRD Kutim Adi Sutianto DS. Hadir pihak OPD terkait, pihak perusahaan, Kepala Desa Maloy, Camat Sangkulirang, serta anggota DPRD Kutim lainnya.
Adapun alasan utama anggota dewan mengkritisi akan proses pembangunan bandara khusus bagi pihak perusahaan pertambangan batu bara itu terkait dengan mekanisme dan tahapan yang dinilai tidak komparatif dan transparan.
Seperti diungkapkan Anggota DPRD Kutim Muhammad Ali. Menurutnya, pembangunan bandara khusus diperuntukan hanya untuk pihak perusahaan tidak akan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat setempat.
“Prinsip demokrasi itu apa, tranparansi atau stabilitas publik, saya ini dapil di sana tidak pernah ada sosialisasi di sana. Itu bandara, bukan nenek moyang kamu yang punya Maloy,” ujarnya.
Muhammad Ali mengkritisi pihak perusahaan dan pemerintah Desa Maloy yang dinilai tidak tuntas mengkomunikasikan wacana pembangunan bandara khusus tersebut.
“Bahkan tidak ada rekomendasi dari pihak kecamatan, tapi itu sudah diterbitkan rekomendasi. Ini proses awalnya sudah bermasalah,” tutur Muhammad Ali.
Muhammad Ali juga menegaskan bahwa dirinya tidak menolak pembangunan bandara, namun dengan catatan harus mengakomodir kepentingan masyarakat. Mememberikan ruang kepada masyarakat setempat untuk memanfaatkan bandara sebagai sarana transportasi dengan persentasi 70-30 atau 80-70. Artinya, 70 atau 80 persen kuota digunakan pihak perusahan.
Selanjutnya, 30 atau 20 persen sisanya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. “Kita tidak menolak itu bandara, kami setuju itu asal dengan catatan paling nga 70-30 atau 80-20 persen,” tegas Legislator PPP itu.
Di lain sisi, Anggota DPRD Kutim Hepnie Armansyah mempertanyakan terkait nilai harga pembayaran lahan masyarakat yang sifatnya bervariatif. Musababnya mencuat harga lahan yang dibayarkan oleh perusahaan, ada yang Rp Rp 35 juta, namun ada juga yang nilainya sampai dengan Rp 500 juta.
“Saya minta dikonfirmasi terkait ada lahan yang dibayar 35 juta dan ada juga yang dibayar 500 juta, artinya ini sangat jomplang sekali. Mungin, ini hanya menurut saya, harga 35 juta itu (disampaikan) untuk lahan pertanian aja dan pembeliannya dari orang perorang, ya itu bisa saja. Tapi kalau untuk pembanguan Badara itu pasti beda lagi harganya,” ucapnya.
Pola pembayaran demikian apabila terbukti, menurut Hepni tidak berlaku jujur alias tidak transparan. Hal tersebut bisa saja terjadi apa bila perusahaan menggunakan tangan pihak ketiga.
“Itu yang saya minta dikonfirmasi, bapak (pihak perusahaan) hanya menjelaskan semuanya, sudah ada akta notarisnya tapi tidak menjelaskan hal itu. Ada jomplang, kalau ada seperti berati tidak jujur bapak membeli tanah dari masyarakat. Jangan sampai ada pihak tertentu yang turun bukan pihak Indexim. Itu yang dicurigai dan saya minta itu dijelaskan,” cecar politisi Dapil 1 Kutim dari PPP tersebut.
Sementara itu, Perwakilan PT. Indexim Coalindo, Ditto Santoso mengatakan dalam proses pengurusan kebandaraan. “PT Indexim Coalindo menaati mekanisme dan prosedur sesuai regulasi yang ditetapkan pemerintah,” kata Ditto.
Terkait proses proses pembelian lahan masyarakat, katanya sudah dilakukan secara profesional.
“Berkenaan dengan proses pembelian lahan telah dilakukan secara fair dan sejalan dengan ketentuan hukum,” katanya. (*)