VIRAL KALTIM, KUTIM– Kualitas air sungai kian menurun. Ini disebabkan banyaknya perusahaan beroperasi, yang memberikan dampak kepada air sungai di Kutai Timur (Kutim). Misalnya Sungai Pengadan, Kecamatan Karangan, dulunya jernih dan bersih. Kini mulai keruh dan kualitasnya menurun hingga mengancam ekosistem.
Itu tak lepas dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitarnya. Sehingga membuat kualitas air menurun. Apalagi jika habis hujan, kondisi air seperti lumpur di belender. Selain itu, peternak ikan pernah mengganti air kolam ikannya dengan air sungai. Namun, hanya beberapa menit menggunakan air sungai ikan di kolam banyak yang mati.
Menanggapi ini, Bupati Kutim Ardiansyah Sulaiman tidak menampik hal itu. Namun, itu dianggapnya wajar. Apalagi jika kondisi puluhan tahun lalu dibandingkan dengan yang terjadi sekarang. “Pembangunan terus meningkat. Ini dampak dari pembangunan,” ujarnya.
Dia mencontohkan, pada 1970-1990, warga Sangatta masih berani mandi di sungai. Hal tersebut biasa terjadi dan aman. Sekarang tidak ada yang berani mandi di sana. Selain itu, Sungai Mahakam, ketika masih duduk di bangku SMP. Dia pernah mandi sambil meminum air Sungai Mahakam. Hal tersebut dirasanya aman.
“Sekarang sudah tidak bisa. Karena dampak dari pembangunan. Mau tidak mau seperti itu. Sedikit tidaknya akan memberi perubahan,” ungkapnya.
Tetapi yang menjadi persoalan, sejauh mana dampaknya terhadap ekosistem. Apakah secara signifikan menganggu kelangsungan ekosistem. Apabila demikian, maka akan menjadi perhitungan nantinya. Tapi kalau tidak signifikan atau biasa saja. Misalnya, ada 6 kilogram ikan mati, itu tidak signifikan.
“Tapi. jika dilihat ribuan ikan mengapung, ini baru diperhatikan. Bisa jadi ada kejadian pencemaran limbah dengan volume besar,” sebutnya.
Dia kembali mencontoh peristiwa 2013 silam. Banyak ikan mati di Sungai Sangatta. Ternyata ketika diperiksa ada kebocoran limbah PT KPC. Dirinya yang kala itu menjabat sebagai Bupati Kutim, menurunkan Dinas Lingkungan Hidup. Ketika diperiksa memang berdampak sangat signifikan.
“Kemudian diminta memperbaiki. Jadi, yang namanya kerusakan lingkungan dan sebagainya, dilihat signifikansi dampaknya. Kalau hanya beberapa ekor, itu biasa saja. Tapi kalau sudah ribuan, wajib menjadi perhatian,” pungkasnya. (adv/dy/yd)