VIRALKALTIM – Forum Petani Kelapa Sawit (FPKS) Kutai Timur (Kutim), menggelar rapat kerja (raker) yang pertama, Kamis pagi (23/12), di Hotel Royal Victoria. Semangat petani menjadi alasan dibentuknya organisasi. Raker merupakan wadah berdiskusi dan menyampaikan aspirasi petani. Sehingga dapat diperjuangkan kesejahteraannya.
Terdapat 150 anggota FPKS dan 50 undangan menghadiri raker. Ketua FPKS Kutim Asbudi mengatakan, forum dibentuk setelah adanya diskusi antar petani. Berdasarkan keluh-kesah harga buah dua tahun lalu jatuh, Rp 400. Disimpulkan, bahwa petani tidak dapat berdiri sendiri.
“Kami berinisiatif mendirikan wadah perjuangan. Prosesnya cukup panjang. Beberapa kali menggelar hearing dengan DPRD. Alhamdulillah sekarang harga buah sawit Rp 3.250 ribu,” ungkapnya.
Menurutnya, raker memiliki target program kerja utama. Misalnya konflik agraria. Sekarang sudah ada petani dijerat hukum akibat menanam sawit di kawasan hutan. Pihaknya akan meminta campur tangan Pemkab Kutim dalam penyelesaian konflik agraria yang sedang berlangsung di kawasan Kilometer 125, Sangatta Selatan dan Taman Nasional Kutai (TNK),
“Pemerintah dapat membantu pengurusan keabsahan lahan di kawasan budidaya non kehutanan (KBK), TNK, hutan lindung. Semua area yang berpotensi terjadi konflik agraria lanjutan. Seperti Bengalon, Teluk Pandan, Sangatta Selatan, Rantau Pulung dan Batu Ampar,” ungkapnya.
Termasuk ketidakjelasan metode pembagian sisa hasil usaha (SHU) kebun plasma. Sehingga, masing-masing perusahaan pengelola plasma bisa berkomunikasi dengan petani. Mengenai metode yang digunakan dalam penentuan SHU.
“Penerapan harga beli TBS (tandan buah segar) perusahan pemilik pabrik kelapa sawit, minimum sama dengan harga TBS yang ditetapkan Dinas Perkebunan,” harapnya.
Ketua Dewan Pembina FPKS Kaltim Mahyudin meyakini, peserta yang menghadiri raker berjuang membela keluarganya dan ekonominya. Termasuk ekonomi masyarakat dan daerah. Sehingga menghasilkan devisa bagi negara.
“Kelapa sawit menarik secara ekonomi. Sebagai industri masa depan. Kalau orang bertanya, bibit yang bagus dikembangkan. Saya selalu sarankan tanam sawit,” katanya.
Sejak Kutim berdiri, 1999. Sebagai wakil bupati, Mahyudin masih mengingat bagaimana dia bersama bupati pertama, Awang Faroek Ishak, mencanangkan program gerakan daerah pengembangan agrobisnis. Konsepnya dengan membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Maloy.
“Itu Konsep yang sangat visioner. Kutim sejatinya hidup dari pertambangan batu bara. Tapi, lama-kelamaan pasti akan habis. Banyak daerah eks tambang, ketika batu bara habis akhirnya jadi kota mati,” sebutnya.
Berdasarkan itu, Kutim harus bertumpu pada sumber daya alam (SDA) yang dapat diperbarui. Memaksimalkan kawasan persawahan, tidak memungkinkan di Kutim. Tanahnya tidak subur seperti di Jawa.
“Tapi sawit bagus di Kutim. Bahkan, kadar minyaknya baik,” terangnya.
Kala itu, baru ada PT Astra yang beroperasi di kawasan Muara Wahau. Berdasarkan teori, plasma harus 20 persen diberikan. Pada prakteknya sering terabaikan. Kebanyakan perusahaan mendahulukan kebun inti.
“Ini yang perlu dicari solusinya. Makanya penting dibahas dalam raker FPKS. Wadah bertukar pikiran dan memaksimalkan penanaman sawit,” ujarnya.
Keberadaan FPKS dianggap penting, menjembatani petani dengan pengambil kebijakan. Seperti subsidi pupuk kelapa sawit yang tidak pernah terjadi. Padahal peluang bagi pemerintah.
“Pupuk sawit berbeda dengan jenis lainnya. Kalau dipaksakan, hasilnya tidak maksimal,” paparnya.
Dia berharap, pemerintah tidak selalu mementingkan investasi. Lebih memerhatikan petani. Kalau ada lahan yang dapat dimanfaatkan, jangan diberikan pada investor.
“Sudah terlalu banyak. Lebih baik diberikan kepada petani. Melalui FPKS yang akan mengkoordinir,” tutupnya. (*)